poslistisksku

Aku adalah kata maaf. Rangkaian huruf vokal dan konsonan yang tak akan pernah keluar sebagai bunyi, walaupun aku terus menerus memberontak keluar dari tempat persembunyian yang sekaligus juga menjadi ruang tahananku. Sengaja, huruf-huruf dari kataku ini diasingkan dengan paksa dalam kepekatan mahligai nurani yang berdiri rapuh dalam diri manusia yang ditempatinya.
Aku telah terkurung dalam hitam. Ya.  Aku ulangi, mahligai nurani itu telah diliputi kegelapan dengan padamnya cahaya di seluruh kerajaan. Penyebabnya adalah kekalahan telak pemimpinnya, nurani, atas pertarungannya dengan logika yang angkuh lagi kejam. Logika yang tengah bermain licik dengan mengeluarkan berbagai tipu daya bersama serdadu-serdadu beringasnya. Ya, logika yang tercederai nafsu, cenderung narsis, dan selalu menginginkan kemenangan atas citra dirinya. Aku benar, teriaknya dengan penuh kesombongan tanpa disertai pikiran yang jernih lagi bersih.
Mulanya, mahligai nurani berkilauan oleh cahaya dari bola lampu kristal di setiap ruangan dalamnya. Terang yang nyata itu memungkinkan perwujudan bentuk dan rupa bila dilihat dari kejauhan. Indah nian serupa dengan keelokan pemimpinnya, nurani. Dia, sang nurani, penuh dengan kehangatan, kebaikan, dan kepatuhan pada Sang Maha Raja yang telah mengangkatnya menjadi pemimpin utama atas kerajaan dalam diri manusia. Tak terelakan, dengan senang riang, semua hal yang indah ingin menjadi prajurit-prajuritnya dan tinggal bersama nurani di dalamnya. Sang cinta, sang kelembutan, termasuk aku sang ‘maaf’.  Jujur, aku sangat mencintai pemimpinku, nurani.
Sayang, kini pemimpinku nurani telah ditawan oleh logika yang keliru. Aku ikut disingkirkan bersama kawanan prajurit indah nurani lainnya dan diisolasi dengan paksa dalam ruang sempit dan terasing. Nurani tak mampu berbuat apapun untukku, toh dia telah dipaksa menjadi boneka oleh logika. Hanya manggut-manggut dan mengikuti kendali logika. Dalam hitungan waktu, nurani telah berubah menjadi angkuh dan bertindak acuh terhadap serdadu setianya dulu, aku dan kawanan indahku. Tapi, tunggu.. Aku melihat dengan jelas mata nurani yang tertutupi oleh awan kebohongan. Apakah nurani benar-benar telah menjadi angkuh dan acuh?. Ah, aku tidak tahu.
Kini, Aku tergolek lemah di dalam penjara mahligai gelap yang dingin nan menakutkan. Aku tidak berdaya apa-apa tanpa nurani. Dia satu-satunya pemimpin yang dapat mengaktualisasikan diriku. Bukan logika. Aku hanya mampu menangisi laku nurani yang tak lagi seindah dulu. Ketika itu nurani sering mengajakku tuk menjelmakan diri. Siapa pula yang tidak akan menjadi bahagia bila setiap dirinya yang tak tampak mampu termanifestasi walau hanya relatif, tak mutlak. Kenangan yang indah, saat nurani berusaha menyadarkan manusia yang khilaf dan membawaku ikut andil dalam merealisasikan tindakan nyata atas pengakuan kekeliruannya itu. Sungguh, aku tak mampu melupakan itu semua. Saat aku bisa keluar sebagai makna dalam hidup ini sekaligus membawa kelegaan dan kebahagiaan bagi manusia yang didiami oleh sang nurani. Sungguh berguna.
Nurani.. Entah mengapa, Aku pikir sihir logika sadis terlalu kuat untuk mengendalikanmu. Aku masih mengingat beberapa momen sangat penting, yang semestinya kau libatkan aku di dalamnya agar menjadi buah kebahagiaan bagi sang manusia. Bukankah, Sang Maha Raja telah menciptakan dan menitahkanmu tuk menjadi pengendali yang dapat membawa ketenangan dan kebahagiaan bagi manusia?. Apakah kau sendiri telah lupa, wahai nurani?. Biarlah akan ku kenang semua kejadian ini hingga kau benar-benar kembali menjadi nuraniku yang dulu.
Aku dapat mengingat jelas ketika suatu waktu sang manusia berlaku khilaf pada ibunda dan ayahnya. Saat itu aku sudah bersiap tuk menampakkan diri dan ingin ikut mendamaikan perseteruan antara dia dengan kedua orang paling berharganya di dunia ini. Aku berharap dirimu mau membayangkan kesakitan kedua orang tua lemah renta itu akibat perkataan kasar sang manusia. Tidakkah kau bisa melihat betapa terpukul kedua senja itu saat kelembutan yang dulu mereka agungkan dibalas tanpa ampun dengan kekasaran oleh sang manusia?. Menyedihkan. Pula, ku berharap dirimu dapat membayangkan penyesalan akhir sang manusia bila tiba saatnya dia kehilangan atau terhilangkan dari kedua orang yang amat dicintainya.  Tapi. saat itu dirimu hanya diam, tak bergeming sedikitpun. Entah, mantra apa yang berhasil dibisikkan kepadamu oleh logika yang telah tersesat karena nafsunya.
Tak hanya kisah pilu itu, adapula momen lain ketika engkau hanya terdiam saat melihat logika kejam yang menggoda sang manusia untuk mencari dan mendapatkan kebahagiaan semu dari hasil jerih payah rakyat jelata. Dengan mengumandangkan satu tujuan sesat yang klasik, semua itu dilakukan untuk anak istri manusia yang disayanginya. Ya, akhirnya sang manusia tergerak melakukan korupsi secara terang-terangan tanpa mempedulikan derita dan isak tangis rakyat miskin yang kelaparan, yang tak memiliki pendidikan, dan tempat tinggal yang layak. Kemanakah dirimu, duhai nurani?. Mengapa kau tidak memaksaku untuk keluar menampakkan diri pada manusia-manusia itu. Mereka yang hanya mengharapkan perutnya dapat terganjal meskipun hanya sekadar dengan nasi atau mie saja, mereka yang hanya mengharapkan benteng pelindung dari panas dan hujan meskipun hanyalah sebuah rumah kecil dan pengap, dan mereka yang hanya mengharapkan setitik ilmu praktis untuk bekalnya mencari pekerjaan di kemudian hari meskipun tak sampai mendapat gelar akademik yang sering dibanggakan oleh manusia-manusia kaya. Mengapa engkau tidak peka membayangkan penderitaan dan tangisan manusia-manusia jelata itu?. Apakah kau tidak pernah membayangkan posisimu yang tiba-tiba saja berada pada kumpulan nurani manusia-manusia itu?.
Oh, aku juga mengingat peristiwa memuakkan saat kau hanya membungkam atas tindakan serong yang dilakukan oleh sang manusia terhadap istrinya. Masa itu ketika sang manusia telah dibuai oleh gelimang harta kotornya.  Logika kejam telah memaksanya untuk mendapatkan kepuasan batiniah dari wanita lain yang lebih muda dan lebih cantik tentunya. Haa, cukup geli karena engkau, nurani, tidak mengajak sang manusia untuk mengenang masa lalunya yang penuh cinta dan keindahan bersama istrinya kala itu. Hingga dia berani mengucapkan janji setia pada sang istrinya untuk tidak memoles tinta kesedihan barang setitik pun di hatinya. Ya.. engkau hanya diam melihat kesakitan yang dialami oleh sang istri dan tidak berupaya memintaku keluar menampakkan diri sebagai pahlawan pendamai bagi keduanya. Hingga akhirnya, logika pun semakin berjaya dan bertindak melampaui batas, bahkan tidak waras. Logika itu malah menyuruh sang manusia untuk menceraikan istrinya dan menikahi wanita muda itu. Lalu, engkau nurani,, kau hanya diam saja melihat derita istrinya itu, bahkan pula anak-anak kecilnya yang masih membutuhkan kasih sayang sang manusia. Kau terlalu lupa untuk membayangkan penyesalan akhir sang manusia ketika tiba-tiba wanita muda itu tidak setulus yang dibayangkannya dan hanya menginginkan limpahan hartanya belaka. Ironis.
Ah, nurani, bahkan hal terparah yang kau lakukan adalah ketika sang logika sesat memaksamu untuk tidak mengakui kesalahan yang kau buat. Kekeliruanmu yang tidak pernah menjelmakan diriku untuk menciptakan suasana damai dan bahagia antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Bahkan juga, terutama untuk sang manusia itu sendiri. Dengan aku, manusia akan menemukan ketenangannya. Bukankah, ketenangan itu di atas segalanya, nurani?. Tidakkah kau merasakannya?.
Kini, Aku ’sang maaf’ hanya bisa menangis sembilu atas kediaman nurani dan kekuasaan logika yang terbuai oleh nafsu. Ingin rasanya ku menyadarkan nurani agar dia mampu terlepas dari logika yang telah berbuat kekeliruan amat sangat. Pula, ku merindukan diri ini dapat teraktualisasi hingga menjadikan aku sebagai kata yang paling bermakna dan berguna dalam hidup. Ah, nurani.. apakah kau lupa untuk apa dirimu tercipta?. dimanakan dirimu yang dulu ku kenal sebagai pemimpin yang berlaku baik, hangat lagi lembut?. Dimanakah pula letak keindahan sifatmu yang telah ditempatkan khusus oleh Sang Maha Raja dalam mahligaimu? Tidak dengan yang lain.
Nurani, aku tahu dirimu hanya terpedaya oleh logika sesat. Aku meyakini, sifat aslimu tak kan mungkin hilang begitu saja dari dirimu. Sang Maha Raja pastilah Maha Penyayang. Dia tak akan terus menerus membiarkan mahligaimu gelap gulita dalam diri manusia. Aku meyakini suatu saat engkau kan berubah. Aku tak boleh putus asa dalam berharap. Sebab pintaku hanya satu, Aku sang ‘maaf’ ingin keluar dari kepekatan dan kedinginan ruang sesak ini, duhai nurani.

No comments: